Refleksi : Nasehatilah Nafsumu
Dalam kehidupan yang penuh dengan dinamika, kita kerap kali disibukkan dengan memperbaiki orang lain—menasehati saudara, menegur teman, dan mengkritik lingkungan. Namun, sering kali kita lupa bahwa musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Tepatnya, nafsu yang bersemayam dalam diri, yang terus membisikkan keinginan-keinginan duniawi dan mendorong kita menjauh dari jalan yang diridhai Allah. Maka, nasehatilah nafsumu, sebelum engkau menasehati orang lain.
Apa itu Nafsu?
Dalam Islam, nafsu adalah kecenderungan batin yang ada pada diri manusia, yang bisa membawa kepada kebaikan ataupun keburukan, tergantung bagaimana ia dikendalikan. Al-Qur’an menyebutkan beberapa jenis nafsu, salah satunya nafsu ammarah bis-su’ yaitu nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan, sebagaimana disebutkan dalam Surah Yusuf ayat 53:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
(QS. Yusuf: 53)
Nafsu inilah yang sering membuat kita lalai. Ia mengajak kepada kesombongan, kemarahan, syahwat, iri hati, dan berbagai bentuk penyakit hati lainnya. Maka, mengendalikan nafsu adalah jihad terbesar yang harus dilakukan oleh setiap Muslim.
Mengapa Nafsu Harus Dinasehati?
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang berada di antara kedua rusukmu."
(HR. al-Baihaqi)
Nafsu bukan hanya membawa kepada dosa, tapi juga membutakan mata hati. Nafsu membuat seseorang merasa benar sendiri, merasa paling baik, hingga sulit menerima kebenaran. Inilah mengapa seseorang bisa rajin ibadah, tapi tetap merasa tinggi hati. Bisa banyak berbicara tentang kebaikan, namun lupa mengaplikasikan pada diri sendiri.
Menasehati nafsu berarti memeriksa niat, membersihkan hati, dan mengoreksi diri secara terus-menerus. Proses ini adalah langkah awal menuju ketakwaan yang sejati.
-Langkah-Langkah Menasehati Nafsu-
Mengenal Diri dan Mengakui Kelemahan
Jangan pernah merasa sudah baik. Rasulullah ﷺ, manusia paling sempurna, tetap memohon ampun kepada Allah lebih dari 70 kali sehari. Maka siapalah kita yang merasa sudah bersih dari dosa?
Merenungi dosa, kesalahan, dan kelemahan adalah awal dari perubahan. Jangan sibuk mencari aib orang lain, sedangkan aib diri sendiri tidak pernah disingkap dan diperbaiki.
Muhasabah (Introspeksi Diri)
Umar bin Khattab pernah berkata:
"Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum amal itu ditimbang untukmu."
Setiap malam, biasakan untuk bertanya pada diri sendiri: apa saja yang telah aku lakukan hari ini? Apakah aku lebih dekat kepada Allah, atau justru semakin jauh?
Memperbanyak Dzikir dan Doa
Hati yang hidup adalah hati yang senantiasa berdzikir. Dengan mengingat Allah, nafsu akan tunduk dan tidak liar. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ untuk mengendalikan nafsu adalah:
"Allahumma aati nafsi taqwaha, wa zakkihā anta khairu man zakkāhā, anta waliyyuhā wa maulāhā."
(Ya Allah, berilah jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah pelindung dan penolongnya.)
Bergaul dengan Orang Shalih
Nafsu mudah tergoda oleh lingkungan. Maka pilihlah teman yang senantiasa mengingatkan kita kepada Allah, bukan yang menjerumuskan kepada kelalaian. Lingkungan yang baik dapat menjadi benteng yang kuat dalam menjaga kebersihan hati dan menasihati nafsu.
Meninggalkan Kebiasaan Buruk Secara Bertahap
Jangan menunda taubat. Nafsu akan selalu mencari alasan untuk menunda perubahan. Hari ini hanya satu dosa kecil, besok mungkin dua, dan lama-lama menjadi kebiasaan. Kuncinya adalah melawan nafsu hari ini juga, bukan esok.
Membaca Al-Qur’an dan Menghayatinya
Al-Qur’an adalah cahaya yang mampu menembus kegelapan nafsu. Banyak ayat yang menjadi cermin bagi hati yang jujur. Ketika dibaca dengan hati yang tulus, Al-Qur’an akan menasehati kita lebih baik dari siapa pun.
-Buah dari Menasehati Nafsu-
Ketika nafsu mulai tunduk, maka hati menjadi tenang. Tidak ada lagi rasa iri saat melihat orang lain sukses, tidak ada dengki saat melihat orang lain lebih unggul. Hati menjadi lapang, menerima takdir dengan ridha, dan terus berusaha dalam jalan kebaikan.
Orang yang mampu menasihati nafsunya akan menjadi pribadi yang lembut, sabar, dan mudah menerima kebenaran. Ia tidak cepat marah, tidak sombong dengan amalnya, dan tidak merasa lebih suci dari orang lain.
Allah berfirman:
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)."
(QS. An-Nazi’at: 40–41)
Betapa besar ganjaran bagi mereka yang mampu menundukkan nafsu! Bukan hanya ketenangan di dunia, tapi juga surga yang abadi sebagai balasannya.
Dari situlah, Menasehati nafsu adalah pekerjaan seumur hidup. Ia tidak cukup dilakukan sekali, tapi harus terus-menerus, seperti seorang petani yang setiap hari merawat tanamannya agar tumbuh dengan baik. Jangan biarkan nafsu mengambil alih kendali hidup. Jadikan ia sebagai pelayan, bukan tuan. Nasehatilah nafsumu dengan keikhlasan, dengan ilmu, dan dengan amal. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak kita menasehati orang lain yang menjadi penentu keselamatan kita di akhirat, tetapi seberapa berhasil kita menasehati dan memperbaiki diri sendiri.