Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tiga Orang yang Boleh Digunjingkan dalam Islam


Ghibah atau menggunjing adalah perbuatan menyebutkan aib seseorang di belakangnya yang jika orang tersebut mendengarnya, dia tidak akan suka. Dalam Islam, ghibah termasuk dosa besar dan sangat dikecam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. Al-Hujurat: 12)

Namun, tidak semua bentuk menyebutkan keburukan orang lain dianggap ghibah yang haram. Dalam beberapa keadaan tertentu, Islam membolehkan bahkan menganjurkan untuk menyebutkan keburukan orang lain, demi menjaga kemaslahatan umum atau menegakkan keadilan. Para ulama menyebut ada enam keadaan yang menjadi pengecualian dari keharaman ghibah. Namun dalam artikel ini, kita akan fokus pada tiga di antaranya, yang berkaitan dengan jenis orang yang boleh digunjingkan menurut syariat.

1. Orang yang Zalim (Pelaku Kezaliman)

Islam memberikan hak kepada orang yang dizalimi untuk mengadukan perbuatan zalim yang menimpanya kepada pihak berwenang atau orang yang mampu memberikan solusi. Dalam proses tersebut, boleh jadi orang yang dizalimi harus menyebutkan kezaliman yang dilakukan si pelaku.

Contohnya, seorang pekerja yang gajinya tidak dibayar oleh majikannya boleh mengadu kepada pihak berwenang atau teman yang dapat membantunya dengan menyebut: “Majikanku tidak membayar gaji selama tiga bulan,” meskipun hal itu mencoreng nama baik si majikan.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

"Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) secara terang-terangan kecuali oleh orang yang dizalimi." (QS. An-Nisa: 148)

Namun, penting digarisbawahi bahwa aduan tersebut hanya boleh disampaikan kepada orang yang relevan dan bisa memberikan solusi, bukan untuk sekadar menyebarkan aib.

2. Orang yang Terkenal dengan Kefasikan atau Bid’ah Terang-terangan

Orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan, seperti peminum khamr di tempat umum, koruptor yang sudah terbukti, atau pelaku bid’ah yang secara terbuka menyebarkan ajaran sesat, boleh disebutkan keburukannya demi menjaga umat dari pengaruh buruknya.

Contoh, seorang tokoh masyarakat yang dengan sengaja dan terang-terangan menyebarkan paham menyimpang, boleh diperingatkan kepada masyarakat agar tidak mengikuti ajarannya. Ini bukan ghibah, tapi nashihah (nasihat) demi menjaga kemurnian akidah.

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyebutkan:

"Tidak haram menyebutkan keburukan pelaku maksiat yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan."

Namun perlu kehati-hatian: bukan berarti setiap orang bebas menggunjing siapa saja yang dianggap fasik. Hanya orang yang jelas-jelas melakukannya secara terbuka yang termasuk dalam pengecualian ini, dan motivasinya harus untuk menjaga umat, bukan karena dendam atau hawa nafsu.

3. Orang yang Dimintai Nasihat atau Kesaksian (Seperti dalam Istikharah atau Pengadilan)

Seseorang boleh menyebutkan keburukan orang lain jika diminta memberi penilaian atau nasihat kepada orang yang hendak bekerja sama, menikah, atau mengambil keputusan penting. Dalam konteks ini, menyebutkan kekurangan bukan termasuk ghibah, tetapi bagian dari amanah dalam menyampaikan informasi yang benar.

Contoh: Seseorang bertanya kepada kita tentang calon pasangan hidupnya, apakah si A baik atau tidak. Jika kita mengetahui bahwa si A memiliki sifat buruk seperti kasar atau tidak taat agama, maka wajib kita sampaikan dengan jujur, meski itu berarti menyebut keburukannya.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apakah saya boleh menyebutkan keburukan seseorang ketika saya dimintai pendapat tentangnya untuk menikah?” Beliau menjawab: “Ya, jika itu benar, dan itu dalam rangka memberi nasihat.”

Hal yang sama berlaku dalam persaksian di pengadilan. Jika seseorang menjadi saksi atas suatu kezaliman, ia boleh menyebutkan kejelekan pelaku untuk menegakkan keadilan.

Batasan dan Etika dalam Pengecualian Ghibah

Meskipun diperbolehkan, menyebut keburukan dalam tiga konteks di atas tetap memiliki batasan:

-Niat harus ikhlas, demi maslahat atau mencegah mudarat, bukan karena kebencian pribadi.

-Informasi yang disampaikan harus benar, bukan fitnah atau berlebihan.

-Hanya menyebut keburukan yang relevan, tidak membuka aib yang tidak terkait.

-Hanya disampaikan kepada orang yang berhak tahu, bukan kepada semua orang.

Penting untuk memahami bahwa Islam tidak membuka celah untuk membicarakan keburukan orang lain sesuka hati. Pengecualian ini bukan celah untuk menghina, melainkan sarana menjaga keadilan dan kebenaran.

Sebagai Penutup :

Ghibah adalah dosa besar yang harus dihindari, namun dalam beberapa situasi, menyebutkan keburukan orang lain bukan saja boleh, tapi juga dibutuhkan. Tiga jenis orang yang boleh digunjingkan adalah: orang yang zalim, orang yang terang-terangan dalam kefasikan atau bid’ah, dan orang yang menjadi subjek penilaian dalam konteks nasihat atau persaksian.

Sebagai umat Islam, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam ghibah yang haram, dan dalam keadaan yang diperbolehkan pun, tetap menjaga niat dan adab. Semoga Allah menjaga lisan kita dari dosa, dan menjadikan kita hamba-Nya yang mencintai keadilan dan kebenaran.