Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Zahid dan Mutazahid: Jalan Zuhud yang Sejati


Dalam khazanah tasawuf dan spiritualitas Islam, terdapat dua istilah yang penting untuk dibedakan namun sering kali disamakan, yakni zāhid dan mutazāhid. Keduanya berkaitan dengan konsep zuhud, yaitu sikap menjauhkan hati dari kecintaan terhadap dunia dan lebih memilih kehidupan akhirat. Namun, makna dan kedalaman keduanya berbeda secara prinsipil.

Makna Zahid

Zahid adalah orang yang benar-benar menjalani kehidupan zuhud. Ia meninggalkan kesenangan dunia bukan karena tidak mampu, tetapi karena ia menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara. Hatinya tidak terpaut pada dunia meskipun ia mungkin memilikinya. Seorang zahid bisa saja memiliki harta, namun hartanya tidak menguasai hatinya. Ia memandang dunia sebagai sarana, bukan tujuan.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Zuhud bukanlah dengan meninggalkan dunia secara total, tetapi dengan menganggap apa yang ada di tangan Allah lebih meyakinkan daripada apa yang ada di tanganmu.”

Seorang zahid sejati tidak perlu menyatakan dirinya zuhud. Ia menjalani hidup sederhana dengan keikhlasan, tanpa pencitraan atau pengakuan. Hatinya bersih dari riya’ dan pamer, dan seluruh orientasi hidupnya hanya tertuju pada ridha Allah.

Makna Mutazahid

Berbeda dengan zahid, mutazahid adalah orang yang berusaha menampilkan diri sebagai seorang zuhud, namun sebenarnya belum sampai pada derajat itu. Ia bersikap seperti orang zuhud: mengenakan pakaian sederhana, menahan diri dari kesenangan dunia, atau menampakkan kesederhanaan. Namun, hal itu bisa saja masih sebatas usaha lahiriah, belum masuk ke dalam hati.

Mutazahid adalah orang yang sedang menempuh jalan zuhud, dan itu adalah proses yang bisa baik jika dilakukan dengan ikhlas. Namun bahayanya adalah jika sikap ini disertai keinginan dilihat manusia sebagai orang saleh atau zuhud. Ketika zuhud menjadi simbol status spiritual untuk dipamerkan, maka ini bukan lagi zuhud, melainkan bentuk riya’ yang halus.

Zahid di Mata Para Ulama

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti membenci dunia secara mutlak, tapi memahami dunia dalam proporsinya. Dunia adalah kendaraan menuju akhirat, bukan tujuan akhir. Oleh karena itu, seorang zahid sejati tetap menggunakan dunia tapi tidak diperbudaknya.

Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa zuhud itu bertingkat-tingkat. Derajat tertinggi dari zuhud adalah ketika seseorang tidak merasa kehilangan apa pun dari dunia karena hatinya telah terpaut penuh pada Allah. Sedangkan mutazahid, menurutnya, berada pada tahap permulaan yang masih membutuhkan penyucian hati dan latihan terus-menerus.

Bahaya Menjadi Mutazahid Tanpa Kesadaran

Bersikap zuhud secara lahiriah tanpa disertai ketulusan hati bisa menjadi perangkap. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah riya’ yang tersembunyi.”

(HR. Ibnu Majah)

Orang yang berpura-pura zuhud untuk mendapatkan pujian manusia telah jatuh ke dalam jebakan kesombongan spiritual. Ia bukan hanya tidak mendapatkan pahala, tapi juga terancam dosa karena niatnya yang tercampur.

Mengapa Perlu Memahami Perbedaan Ini?

Di zaman ini, banyak orang menampilkan kesalehan secara visual: gaya hidup minimalis, pakaian sederhana, kata-kata bijak, namun tidak selalu berbanding lurus dengan ketulusan hati. Memahami perbedaan antara zahid dan mutazahid adalah pengingat agar kita tidak tertipu oleh penampilan – baik penampilan diri sendiri maupun orang lain.

Tujuan utama dalam beragama bukan untuk nampak baik, tapi menjadi baik. Zuhud adalah jalan hati, bukan sekadar gaya hidup.

Penutup: Jadilah Zahid, Bukan Mutazahid

Menjadi mutazahid adalah tahap yang mungkin dilewati dalam perjalanan menuju zahid sejati, asalkan disertai kejujuran hati dan niat yang lurus. Namun jangan berhenti di situ. Latihlah hati, murnikan niat, dan teruslah belajar melepaskan keterikatan dunia.

Zuhud bukan berarti miskin. Zuhud adalah ketika dunia berada di tangan, tapi tidak pernah bersarang di hati.

Sebagaimana perkataan Imam Hasan al-Bashri:

“Zuhud bukanlah dengan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud adalah ketika engkau lebih yakin pada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu.”

Semoga Allah menjadikan kita sebagai zahid sejati, bukan sekadar mutazahid yang penuh ilusi.