Refleksi : Jangan Sekadar Halal
Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam diingatkan untuk selalu mencari yang halal. Makanan, minuman, pakaian, penghasilan, bahkan hiburan sekalipun, semua ditimbang dengan standar halal dan haram. Namun, ada satu hal yang kerap kita lupakan: halal bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam beramal dan bertindak. Sesuatu yang halal belum tentu thayyib (baik), belum tentu membawa keberkahan, dan belum tentu mendekatkan kita kepada Allah.
Allah SWT berfirman:
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik (thayyib) yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan..."
(QS. Al-Baqarah: 168)
Ayat ini menyandingkan dua syarat: halal dan thayyib. Artinya, seorang Muslim tidak cukup hanya bertanya "Apakah ini halal?", tapi juga harus bertanya "Apakah ini baik? Apakah ini membawa manfaat dan keberkahan? Apakah ini mendekatkan diri kepada Allah?"
Contoh dalam Kehidupan Sehari-Hari
Makanan Halal, Tapi Berlebihan
Makan makanan halal tentu boleh. Namun, jika berlebihan hingga menimbulkan kemalasan beribadah atau membahayakan kesehatan, maka hal itu tidak lagi thayyib. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada wadah yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya."
(HR. Tirmidzi)
Penghasilan Halal, Tapi Melalaikan
Seorang ayah mencari nafkah dari pekerjaan yang halal, namun karena terlalu sibuk, ia jarang hadir untuk keluarganya, bahkan meninggalkan sholat. Maka penghasilan itu menjadi tidak lagi membawa keberkahan. Padahal Allah menyuruh kita untuk menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.
Pakaian Halal, Tapi Mewah dan Membuat Sombong
Pakaian itu halal, tapi jika tujuannya pamer atau membuat diri sombong dan berbangga-bangga, maka ia telah kehilangan nilai thayyib-nya. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa memakai pakaian untuk pamer, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat."
(HR. Abu Dawud)
Jangan Menjadikan Halal Sebagai Tameng
Kadang kita menggunakan kata "yang penting halal" untuk membela pilihan-pilihan kita yang kurang bijak: nonton berjam-jam (film yang ‘tidak haram’), belanja berlebihan, ikut tren tanpa filter, atau bahkan melakukan bisnis yang memanfaatkan kelemahan orang lain. Semua itu mungkin “halal” secara hukum, tapi apakah ia thayyib, apakah ia rahmatan lil ‘alamin, dan apakah ia diridhai Allah?
Menuju Kualitas, Bukan Sekadar Legalitas
Islam bukan hanya agama hukum, tapi juga agama nilai. Ia tidak hanya berbicara tentang "boleh" dan "tidak boleh", tapi juga tentang hikmah, maslahat, adab, dan tujuan akhir dari perbuatan.
Mari kita ubah pola pikir:
-Dari bertanya “Apakah ini halal?” menjadi “Apakah ini halal dan baik?”
-Dari sekadar "boleh" menjadi "bermanfaat?"
-Dari legalitas menjadi keberkahan dan keridhaan Allah
Akhir kata...
Menjalani hidup dengan standar halal saja tidak cukup, karena yang dicari bukan sekadar yang diperbolehkan, tapi yang membawa kebaikan, keberkahan, dan keselamatan dunia akhirat. Maka, mari kita tingkatkan kualitas hidup dengan prinsip: halal, thayyib, dan mendekatkan kepada Allah.
“Yang halal itu jelas, dan yang haram pun jelas. Di antara keduanya ada perkara yang samar...”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jangan puas dengan yang sekadar halal. Carilah yang benar-benar bernilai ibadah dan diridhai oleh-Nya.