Antara Akal dan Taqlid: Menimbang Peran Akal dalam Beragama
Dalam kehidupan beragama, manusia dihadapkan pada dua pendekatan utama dalam memahami ajaran Islam: akal dan taqlid. Keduanya sering kali ditempatkan pada dua kutub yang berbeda: akal dianggap sebagai kekuatan analisis dan nalar yang membebaskan, sementara taqlid dipandang sebagai sikap menerima tanpa bertanya. Namun, benarkah keduanya saling bertentangan? Atau justru dapat saling melengkapi dalam bingkai iman yang benar?
Pengertian Akal dan Taqlid
Akal adalah anugerah besar dari Allah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan akal, manusia bisa membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk. Dalam Al-Qur’an, Allah sering menyeru manusia dengan kalimat seperti “afala ta‘qilun” (tidakkah kalian berpikir?), menandakan pentingnya akal dalam memahami ayat-ayat Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta.
Sementara itu, taqlid secara bahasa berarti mengikuti atau meniru. Dalam konteks agama, taqlid berarti menerima suatu pendapat atau ajaran tanpa mengetahui dalil atau alasannya secara langsung, terutama dalam bidang fiqih atau hukum Islam. Taqlid bisa bersifat positif bila dilakukan oleh orang awam kepada ulama yang berkompeten. Namun, taqlid bisa menjadi negatif jika dilakukan secara membabi buta, bahkan ketika kebenaran telah nyata.
Akal dalam Timbangan Syariat
Islam bukanlah agama yang anti akal. Bahkan, dalam sejarah pemikiran Islam, para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, dan Ibn Rusyd banyak menggunakan argumentasi akal untuk membela kebenaran wahyu. Akal dipakai untuk memahami dalil, menganalisis realitas, dan menetapkan hukum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash (Al-Qur’an dan Hadis).
Namun, akal bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri. Ia tunduk kepada wahyu. Akal memiliki batas. Jika wahyu sudah jelas, maka akal tidak boleh membantah. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam: memuliakan akal, namun tidak mendewakannya.
Taqlid: Diperbolehkan atau Dilarang?
Taqlid bukanlah sesuatu yang terlarang secara mutlak. Dalam beberapa keadaan, justru taqlid menjadi keharusan, terutama bagi orang yang belum mampu berijtihad atau menggali hukum secara langsung dari sumber-sumbernya. Allah berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang awam diperintahkan untuk merujuk kepada ahli ilmu, dan ini merupakan bentuk taqlid yang dibenarkan. Namun, jika seseorang telah memiliki kapasitas ilmiah, maka taqlid menjadi tidak pantas dan bisa menjebak pada kebekuan berpikir.
Taqlid yang tercela adalah ketika seseorang mengikuti pendapat hanya karena fanatisme mazhab, guru, kelompok, atau budaya, tanpa memperhatikan kebenaran. Bahkan ketika kebenaran datang dengan bukti yang terang, ia tetap menolak hanya karena berbeda dengan yang selama ini ia ikuti. Inilah yang dikecam dalam Al-Qur’an:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari (ajaran) nenek moyang kami’. Apakah mereka akan mengikuti (juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
Menimbang Keseimbangan: Akal dan Taqlid dalam Harmoni
Islam mengajarkan keseimbangan antara akal dan taqlid. Tidak semua orang bisa menjadi mujtahid, dan tidak semua bisa taqlid tanpa pengetahuan. Maka, jalan terbaik adalah: menggunakan akal untuk memahami dan menyaring pendapat-pendapat ulama, kemudian memilih pendapat yang paling kuat dengan panduan ilmu dan niat mencari kebenaran.
Ulama besar seperti Imam Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya tidak pernah memaksa pengikutnya untuk taqlid buta. Bahkan mereka berkata: “Jika pendapatku bertentangan dengan hadis shahih, maka tinggalkan pendapatku dan ikutilah hadis tersebut.” Ini menunjukkan bahwa para imam mujtahid sendiri memuliakan kebenaran di atas fanatisme mazhab.
Penutup: Islam, Agama Ilmu dan Hujah
Islam adalah agama yang membangun pondasinya di atas ilmu, bukan taqlid buta. Akal digunakan untuk memahami wahyu, bukan untuk menentangnya. Taqlid dibenarkan bagi yang belum mampu, namun dengan semangat untuk terus belajar dan mencari kebenaran.
Marilah kita beragama dengan akal yang tunduk kepada wahyu dan taqlid yang terbimbing oleh ilmu. Jangan jadikan agama sebagai warisan yang diterima tanpa pengkajian. Sebaliknya, jadikan iman sebagai hasil perenungan, pemahaman, dan keyakinan yang kokoh.
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah hanyalah para ulama...” (QS. Fathir: 28)