"Hikmah" Perbedaan Pendapat Ibnu Hajar dan Ar-Ramli soal Perubahan Air
Dalam dunia fiqih Islam, perbedaan pendapat di antara para ulama merupakan hal yang lazim dan bahkan menjadi salah satu kekayaan intelektual yang tak ternilai. Salah satu bentuk perbedaan yang cukup terkenal dalam mazhab Syafi'i adalah perbedaan pandangan antara dua tokoh besar: Ibnu Hajar al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Ramli. Salah satu isu fiqih yang mereka bahas dengan pandangan berbeda adalah terkait air yang berubah karena benda suci. Meskipun kelihatannya sederhana, perbedaan ini menyimpan hikmah dan pelajaran besar bagi umat Islam.
Permasalahan: Air yang Berubah karena Benda Suci
Dalam fiqih, air yang digunakan untuk bersuci harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah tidak berubah sifatnya (warna, rasa, atau bau) karena benda lain, kecuali perubahan itu karena benda yang suci dan tidak dominan.
Pertanyaan utamanya: Apakah air yang berubah karena benda suci seperti daun teh, bunga, atau kapur masih bisa digunakan untuk bersuci (wudhu dan mandi)?
Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami :
Ibnu Hajar berpendapat bahwa air yang berubah karena benda suci tidak dapat digunakan untuk bersuci jika perubahan itu jelas. Baginya, perubahan tersebut menunjukkan bahwa air sudah keluar dari status "air mutlak" menjadi "air musyammas" atau "air maṭ'ūm" (air yang sudah bercampur sesuatu dan tidak lagi murni).
Dengan demikian, air teh, air bunga, atau air kapur tidak bisa digunakan untuk wudhu atau mandi wajib, menurut pendapat Ibnu Hajar, karena sudah kehilangan statusnya sebagai air mutlak.
Pendapat Ar-Ramli :
Berbeda dengan Ibnu Hajar, Ar-Ramli berpendapat bahwa selama benda yang mencampuri air itu suci, maka air tersebut masih sah digunakan untuk bersuci, walaupun warnanya atau baunya berubah.
Menurut Ar-Ramli, yang penting adalah kesucian zat yang menyebabkan perubahan dan bahwa air itu tidak najis serta jumlahnya dua qullah atau lebih. Maka air teh atau air bunga tetap sah digunakan untuk wudhu selama tidak terkena najis dan masih disebut sebagai "air".
Hikmah di Balik Perbedaan Ini :
1. Memperkaya Khazanah Ilmu Fiqih
Perbedaan pendapat ini mencerminkan luas dan dalamnya pemahaman para ulama terhadap dalil-dalil syar’i. Mereka menggali hukum dari sumber yang sama — Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas — namun hasilnya bisa berbeda karena perbedaan sudut pandang dan pendekatan metodologis.
Hal ini memberikan umat Islam pilihan yang luas, serta kesempatan untuk memahami Islam secara lebih dalam dan kontekstual.
2. Fleksibilitas dalam Praktik Ibadah
Perbedaan ini juga memberikan fleksibilitas bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah. Dalam kondisi tertentu, terutama di daerah yang sulit mendapatkan air murni, mengikuti pendapat Ar-Ramli bisa menjadi solusi yang sangat bijaksana dan praktis.
Sebaliknya, bagi yang ingin kehati-hatian (ihtiyāṭ), pendapat Ibnu Hajar bisa diikuti untuk menjaga kesempurnaan ibadah.
3. Mengajarkan Toleransi dan Adab Berbeda Pendapat
Perbedaan antara Ibnu Hajar dan Ar-Ramli tidak berujung pada saling menyalahkan atau menyesatkan. Ini menjadi teladan besar dalam menjaga ukhuwah Islamiyah. Mereka saling menghormati satu sama lain meski berbeda pendapat, karena masing-masing memiliki dalil dan hujjah yang kuat.
Ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini yang sering kali terjebak dalam fanatisme pendapat dan sempitnya toleransi dalam bermazhab.
4. Menghargai Konteks dan Kebutuhan Umat
Pendapat Ar-Ramli, misalnya, sangat relevan di daerah tropis seperti Asia Tenggara, di mana penggunaan air bunga atau air bercampur daun-daunan adalah hal yang umum, bahkan tradisional. Sementara pendapat Ibnu Hajar lebih konservatif dan menjaga batas-batas ibadah secara ketat.
Keduanya saling melengkapi: satu menjaga prinsip, satu lagi mempertimbangkan kemaslahatan.
Penutup: Memetik Hikmah dan Menjaga Ukhuwah
Perbedaan antara Ibnu Hajar dan Ar-Ramli bukanlah konflik, melainkan rahmat dan bentuk kedewasaan dalam memahami agama. Dalam perbedaan itu, kita diajak untuk menggali ilmu, memahami realitas, dan tetap menjaga adab dalam menyikapi keragaman pendapat.
Sebagai umat Islam, penting untuk tidak fanatik buta kepada satu pandangan. Belajarlah dari semua ulama, pahami konteksnya, dan aplikasikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Inilah salah satu bentuk kecerdasan spiritual dan sosial yang diajarkan oleh Islam.
Wallahu a'lam....