Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refleksi : Ketika Sibuk dengan Kekurangan Diri


Setiap manusia memiliki kekurangan. Ada yang lemah dalam ucapan, kurang dalam hafalan, sulit memahami ilmu, cepat marah, mudah cemas, atau tidak percaya diri. Namun, bagaimana kita menyikapi kekurangan itu? Apakah kita menghabiskan hari-hari hanya meratapi kelemahan diri, atau kita mengubahnya menjadi bahan bakar untuk bangkit?

1. Mengakui Bukan Meratapi

Langkah pertama dalam menghadapi kekurangan adalah mengakui dengan jujur, tanpa larut dalam kesedihan. Mengakui bukan berarti menyerah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Orang yang cerdas adalah yang mampu menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian...”

(HR. Tirmidzi)

Mengakui kekurangan diri adalah bagian dari pengendalian nafsu dan awal dari perbaikan. Tetapi jika kita terlalu sibuk memikirkan kekurangan dan lupa potensi kebaikan yang kita punya, kita akan terjebak dalam jurang keputusasaan.

2. Fokus pada Perbaikan, Bukan Penyesalan

Penyesalan yang tidak diiringi perbaikan adalah penjara yang menyiksa. Banyak orang tidak bergerak maju karena terlalu sibuk dengan kata-kata, “Seandainya dulu saya...” Padahal waktu tidak bisa diputar kembali.

Allah tidak melihat hasil akhir dari amal semata, tetapi proses dan usaha perbaikan. Ketika kita sibuk memperbaiki diri — meski pelan dan sedikit demi sedikit — itu sudah sangat mulia di sisi Allah. Karena Islam tidak menuntut kita menjadi sempurna, tetapi menjadi lebih baik setiap hari.

3. Belajar dari Kekurangan

Kekurangan adalah guru kehidupan. Ia menunjukkan kepada kita jalan untuk bertumbuh. Orang yang tidak sempurna dalam ucapan, bisa belajar diam dan menulis. Yang sulit memahami ilmu bisa belajar dengan cara yang sesuai dengan dirinya.

Lihatlah para tokoh besar. Mereka pun punya kekurangan. Imam Bukhari kehilangan penglihatannya saat kecil, namun Allah menggantinya dengan kekuatan hafalan yang luar biasa. Imam Syafi’i tumbuh sebagai anak yatim miskin, tapi itu tidak menghalanginya menjadi ulama besar. Justru kekurangan mereka menjadi bagian dari kisah keberhasilan mereka.

4. Jangan Bandingkan Diri

Membandingkan diri dengan orang lain akan memperbesar rasa kekurangan dan melemahkan semangat. Ketika kita sibuk berkata, “Mengapa aku tidak seperti dia?”, kita lupa bahwa setiap orang punya ujiannya masing-masing.

Allah menciptakan manusia dengan keunikan. Tidak ada yang sama persis. Maka tugas kita bukan menjadi seperti orang lain, tetapi menjadi diri sendiri yang Allah ridai.

5. Allah Tidak Pernah Salah Menciptakan

Seringkali kita kecewa dengan diri sendiri. Tapi ingatlah, Allah tidak pernah salah dalam menciptakan. Bahkan, setiap kelemahan yang kita miliki pun ada hikmahnya. Bisa jadi, karena kekurangan itulah kita lebih sering mengadu kepada Allah, lebih dekat kepada-Nya, dan lebih rendah hati di hadapan manusia.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.”

(QS. At-Tin: 4)

Yang perlu kita koreksi bukanlah takdir penciptaan, tetapi respon kita terhadapnya. Apakah kita mengeluh, atau bersyukur dan berusaha?

6. Beramal dengan Apa yang Ada

Jangan tunggu sempurna untuk berbuat baik. Lakukan apa yang kita bisa, meski kecil. Sedikit kebaikan yang konsisten lebih dicintai Allah daripada banyak tapi terputus.

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Bila kita tidak pandai bicara, kita bisa menulis. Bila kita tak kuat berdiri lama untuk shalat malam, kita bisa berzikir sebelum tidur. Bila kita belum hafal Al-Qur'an, kita bisa membaca artinya dan mengamalkannya. Allah melihat usaha dan niat, bukan sekadar hasil.

Sebagai Penutup...

Ketika kita sibuk dengan kekurangan diri, jangan biarkan itu menghalangi kita untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Kekurangan bukan penghalang untuk mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya. Justru, dalam kelemahan itulah kita bisa merasakan betapa kita butuh Allah.

Sibukkanlah diri dengan perbaikan dan amal, bukan dengan keluhan dan keraguan. Karena sejatinya, orang terbaik bukan yang tanpa cela, tapi yang terus berjuang menambal celanya dengan taubat dan amal saleh.