Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikmah : Segelas Air dan Sadarnya Santri Betapa Berat Tugas Kiai


Di sebuah pondok pesantren sederhana yang rindang dan damai, para santri belajar tidak hanya ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai kehidupan. 

Suatu hari, seorang santri yang baru beberapa bulan mondok, mulai merasa heran terhadap gurunya, sang kiai. Ia berpikir, "Mengapa kiai kami hanya duduk-duduk di serambi? 

Bukankah beliau mestinya juga ikut membersihkan halaman, mengajar lebih sering, atau ikut mengawasi kami lebih ketat?"

Pikiran seperti ini mengendap cukup lama dalam benak si santri. Ia merasa para ustadz dan santri senior yang sibuk dengan berbagai kegiatan, justru tampak lebih 'bekerja keras' dibanding sang kiai. 

Suatu sore yang tenang, ketika para santri berkumpul untuk pengajian kitab, si santri muda itu memberanikan diri bertanya.

“Kiai, mohon maaf... saya ingin bertanya. Kiai tampaknya tidak banyak bergerak ke sana ke mari. Apakah kiai tidak lelah hanya duduk dan memberi nasihat? 

Bukankah menjadi pemimpin seharusnya lebih sibuk?”

Seketika suasana menjadi hening. Beberapa santri tampak menunduk, khawatir pertanyaan itu terlampau lancang. 

Namun, sang kiai tersenyum lembut, seolah tak merasa tersinggung sedikit pun. Ia memandang si santri dengan penuh kasih, lalu berkata, “Anakku, ambilkan segelas air dari dapur.”

Si santri pun beranjak, dan kembali membawa segelas air bening. “Ini, kiai.”

“Kini, pegang gelas ini dan berjalanlah mengelilingi pesantren. Tapi ingat, jangan sampai setetes pun airnya tumpah,” ujar sang kiai.

Santri itu pun berjalan perlahan-lahan. Langkahnya hati-hati. Ia menuruni tangga, melewati halaman, mengelilingi asrama, dan kembali ke serambi. 

Selama itu, ia begitu fokus agar air tidak tumpah.

Setelah sampai, sang kiai bertanya, “Apakah airnya tumpah?”

“Tidak, kiai. Saya sangat hati-hati,” jawab santri itu.

“Bagus,” kata kiai sambil tersenyum. “Lalu, apa kamu melihat siapa yang sedang bermain di halaman?”

“Tidak, kiai. Saya tidak memperhatikan.”

“Lalu, apakah kamu tahu siapa yang sedang tidur di masjid?”

“Tidak juga, kiai.”

“Apakah kamu melihat siapa yang sedang bersenda gurau di pojok asrama?”

“Maaf, saya tidak sempat melihat. Saya hanya fokus pada air agar tidak tumpah.”

Sang kiai mengangguk pelan dan menatap penuh makna. 

“Begitulah tugas seorang kiai. Tugasnya bukan sekadar berjalan ke sana ke mari, tetapi memastikan bahwa 'air' umat ini tidak tumpah. 

Ia harus menjaga keseimbangan antara ilmu, akhlak, dan amanah. Ia harus tahu kapan berbicara dan kapan diam. 

Kapan menegur dan kapan memaafkan. Yang tampak di mata bisa jadi hanya 'duduk di serambi', tapi sesungguhnya ia sedang menanggung beban yang tak terlihat olehmu.”

Si santri terdiam. Matanya berkaca-kaca. Baru kali ini ia benar-benar sadar, betapa berat tanggung jawab seorang kiai. 

Bukan hanya mengajar, tapi juga menjaga ribuan kemungkinan, agar pesantren tetap damai, ilmu tetap mengalir, dan akhlak tetap terjaga.

Sejak hari itu, si santri tidak lagi melihat sang kiai dengan mata kasat. 

Ia mulai belajar memahami makna diamnya, ketenangannya, dan ketulusannya. 

Ia tahu, segelas air yang tidak tumpah itu ternyata gambaran dari sebuah kepemimpinan spiritual yang agung.