Memanggil Seseorang dengan Nama yang "Ditashghīr"
Dalam berbagai budaya, termasuk di Indonesia, kita sering memanggil seseorang dengan versi nama yang diperkecil atau dipendekkan (tashghīr). Misalnya, memanggil “Umar” menjadi “Umay” atau “Khairunnisa” menjadi “Nisa”. Praktik ini umum dijumpai di keluarga, teman dekat, maupun lingkungan kerja. Namun, dalam perspektif Islam, bagaimana sebenarnya hukum dan adab memanggil orang dengan nama yang ditashghīr? Apakah ada batasan atau petunjuk syarʿī yang perlu kita perhatikan?
1. Pengertian Tashghīr
Tashghīr (تصغير) secara bahasa berarti ‘mengecilkan’ atau ‘memperhalus’. Dalam konteks nama, tashghīr adalah memberi variasi nama asli dengan bentuk ‘kecil’ atau ‘manis’—biasanya dengan pengulangan huruf atau penambahan “-u”/“-ay” pada akhir, misalnya:
- Ahmad → Ahmadu / Ahmadi → ‘Ahmu
- Khairunnisa → Nisa → “Nisuy”
- Muhammad → Hamid → “Hamay”
Tashghīr bertujuan untuk menunjukkan keakraban, kasih sayang, atau sekadar kemudahan sebutan.
2. Hukum Memanggil dengan Nama yang Ditashghīr
Secara umum, memanggil seseorang dengan nama panggilan (kunyah, laqab, atau tashghīr) diperbolehkan selama memenuhi dua syarat utama:
-Nama Panggilan itu Disukai Pemiliknya
Jika seseorang senang dan ridha dipanggil dengan nama kecilannya, maka hal ini tidak bermasalah. Nabi ﷺ sendiri kadang-kadang menyebut sahabat dengan julukan kesayangan (misalnya, “Ammar” disebut “Ammayr” dalam beberapa riwayat untuk menunjukkan keakraban).
-Tidak Mengandung Makna Buruk atau Menghina
Tashghīr tidak boleh menghasilkan sebutan yang merendahkan, menimbulkan ejekan, atau menyakiti perasaan.
3. Dalil dan Teladan
- Dalam bahasa Arab klasik, sering dijumpai tashghīr untuk nama dan benda—misalnya “kitāb” (buku) menjadi “kutayyib” (buku kecil).
- Nabi ﷺ terkadang memanggil sahabat dengan julukan kekeluargaan untuk menunjukkan kasih sayang.
- Rasulullah ﷺ bersabda:
“Mudahkan dan jangan mempersulit; berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Muslim)
4. Adab dan Etika Menggunakan Tashghīr
Agar penggunaan tashghīr selaras dengan nilai akhlak Islām, perhatikan hal-hal berikut:
1. Minta Izin Terlebih Dahulu
2. Perhatikan Konteks dan Status
3. Hindari Sebutan yang Menyinggung
4. Jaga Konsistensi dan Kesopanan
5. Manfaat Sosial dan Psikologis
1. Meningkatkan Keakraban
2. Memberi Nuansa Kasih Sayang
3. Memudahkan Komunikasi
6. Batasan dan Hal yang Harus Dihindari
- Jangan Memaksakan Julukan
- Hindari Nama Berkonotasi Negatif
- Pertimbangkan Budaya Lokal
Kesimpulan mengenai nama panggilan :
Memanggil seseorang dengan nama yang ditashghīr—selama dilakukan dengan izin, penuh rasa hormat, dan tanpa unsur merendahkan—merupakan praktek yang dibolehkan dan bahkan dapat mempererat hubungan sosial. Prinsip dasarnya adalah menjaga perasaan dan menciptakan kehangatan dalam pergaulan, sesuai dengan ajaran Nabi ﷺ untuk memudahkan, memberi kabar gembira, dan tidak menyulitkan sesama.