Budaya Pesantren yang Melekat: Adab Santri dengan Para Gurunya
Pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, melainkan juga wadah pembentukan karakter dan akhlak. Di dalamnya, hubungan antara santri dan guru (kiai atau ustadz) bukan semata-mata relasi pengajar dan murid, tetapi lebih dalam — sebuah ikatan spiritual dan moral yang dibangun atas dasar adab, penghormatan, dan keberkahan ilmu.
1. Adab, Fondasi Ilmu di Pesantren
Dalam tradisi pesantren, adab menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan ilmu. Pepatah Arab yang sering dikutip di kalangan santri berbunyi:
"Al-adabu fauqal ‘ilmi" – Adab berada di atas ilmu.
Artinya, seseorang tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmunya bila tidak beradab kepada gurunya. Karena itu, sebelum seorang santri diajarkan kitab-kitab kuning, ia lebih dulu dibimbing untuk memiliki akhlak yang baik: sopan santun, tawadhu’, dan ta’dzim kepada guru.
2. Bentuk-Bentuk Adab Santri terhadap Guru
Adab santri kepada guru mencakup sikap lahir dan batin. Secara lahir, santri dituntut untuk menjaga perilaku dan tutur kata, sedangkan secara batin, ia harus menanamkan rasa hormat dan cinta kepada gurunya.
Beberapa bentuk adab santri yang diajarkan di pesantren antara lain:
Tidak memotong pembicaraan guru.
Santri harus mendengarkan dengan penuh perhatian ketika guru berbicara, karena ilmu yang diajarkan adalah amanah yang membawa berkah.
Menundukkan pandangan dan tidak bersuara keras.
Di hadapan guru, santri diajarkan untuk menundukkan pandangan sebagai bentuk hormat, sebagaimana para sahabat yang menundukkan pandangan mereka di hadapan Rasulullah ﷺ.
Tidak berjalan di depan guru.
Ini simbol kerendahan hati, bahwa seorang santri selalu menghormati gurunya dalam segala keadaan.
Meminta izin dalam segala hal.
Baik dalam hal keluar kelas, menggunakan fasilitas pesantren, maupun mengutip perkataan guru, santri harus menjaga etika izin.
Mendoakan guru setiap waktu.
Doa santri untuk gurunya adalah wujud rasa terima kasih dan pengakuan atas jasa yang tak terbalaskan.
3. Landasan Spiritual Adab kepada Guru
Dalam Islam, guru (ustadz) memiliki kedudukan yang mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami."
(HR. Ahmad)
Guru adalah perantara ilmu — cahaya yang menerangi jalan kehidupan santri. Karena itu, menghormati guru bukan hanya etika sosial, tetapi juga bagian dari ibadah dan bentuk rasa syukur kepada Allah.
Imam Malik pernah berkata, “Aku belajar adab kepada guruku selama 30 tahun, baru kemudian aku belajar ilmu selama 20 tahun.” Ini menunjukkan bahwa adab adalah gerbang menuju keberkahan ilmu.
4. Adab di Zaman Modern: Antara Tradisi dan Tantangan
Di era digital, tantangan adab semakin besar. Banyak santri dan pelajar yang lebih mudah mengakses ilmu melalui media sosial, tetapi kehilangan sentuhan adab terhadap guru.
Mengirim pesan tanpa salam, berbicara tanpa sopan santun, atau mengkritik tanpa dasar, semuanya menjadi tanda terkikisnya budaya ta’dzim yang diwariskan para ulama.
Pesantren tetap menjadi benteng moral dalam menjaga nilai-nilai luhur ini. Kedisiplinan, sopan santun, dan rasa hormat kepada guru diajarkan sejak dini agar santri tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional.
5. Buah dari Adab: Keberkahan dan Keikhlasan
Banyak kisah ulama besar yang sukses bukan semata karena kecerdasan, tetapi karena adab mereka terhadap guru. Imam Syafi’i dikenal sangat menghormati gurunya, Imam Malik, bahkan tidak berani membuka lembar kitab di hadapannya dengan kasar.
Dari adab itulah lahir keberkahan ilmu yang bermanfaat hingga ratusan tahun setelah wafatnya.
Santri yang beradab akan merasakan kemudahan dalam memahami pelajaran, ketenangan dalam beramal, dan keberkahan dalam kehidupan. Sebaliknya, ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa akar — mudah tumbang dan tidak memberi manfaat.
6. Penutup: Menjaga Warisan Mulia Pesantren
Budaya adab santri kepada guru merupakan warisan emas pesantren yang harus terus dijaga. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, nilai-nilai ini menjadi benteng agar ilmu tidak kehilangan ruhnya.
Menjadi santri bukan hanya tentang belajar kitab, tetapi juga menapaki jalan panjang menuju akhlak mulia.
Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali:
“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, tidak akan menyala.”
Semoga santri-santri masa kini mampu mempertahankan tradisi ta’dzim kepada guru, karena di situlah letak keberkahan dan kemuliaan sejati.