Transformasi Santri: Dari Lintasan Perjuangan ke Layar Digital
Sejarah bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari kiprah para santri. Mereka bukan sekadar murid yang tekun membaca kitab kuning, tetapi juga pejuang kemerdekaan, motor perubahan sosial, dan penjaga moralitas republik.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, para santri dari berbagai pesantren bersatu turun ke jalan. Bambu runcing yang mereka galahkan bukan hanya senjata fisik, melainkan lambang keberanian dan semangat perlawanan. Pertempuran Perang Surabaya 10 November 1945 menjadi bukti nyata bahwa keterlibatan santri turut melemahkan semangat penjajah.
Setelah Indonesia merdeka, para santri tetap berada di garis depan. KH Wahid Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama, misalnya, ikut dalam BPUPKI dan kemudian menjadi Menteri Agama. Pesantren pada masa itu tak hanya menjadi lembaga pengajaran agama, namun juga wahana pembentukan semangat kebangsaan. Jaringan kiai dan santri kemudian menjadi pilar koherensi sosial yang membangun madrasah dan sekolah.
Namun, pada zaman Orde Baru, peran santri kerap dipersempit. Mereka cenderung dilihat sebagai ahli agama yang tugas utamanya menyampaikan ceramah atau mengajar mengaji. Padahal secara perlahan, santri mulai merambah profesi lain: guru, birokrat, teknokrat. Meski transformasi ini tidak langsung tampak nyata, jejaknya mulai muncul di ruang publik.
Dengan datangnya era reformasi, perubahan semakin nyata. Pesantren-pesantren mulai mengimplementasikan kurikulum ganda: kitab kuning tetap menjadi bagian penting, namun kini mata pelajaran umum seperti matematika, sains, bahasa Inggris, hingga komputer juga diajarkan dengan serius. Sebagai contoh, Pesantren Tebuireng di Jombang tampil sebagai pelopor yang melahirkan generasi santri yang tangguh dalam dua dunia. Dari pondok tersebut muncul tokoh-tokoh nasional, cendekiawan, pejabat publik hingga akademisi.
Santri di Era Digital
Ketika dunia digital berkembang pesat, muncul fenomena baru: para santri kini berada tidak hanya dalam ruang pengajian tradisional, tetapi juga di ruang maya. Survei Alvara Research Center lewat whitepaper “Si Eksis, Si Digital, Si Santuy” menunjukkan bahwa anak muda Indonesia, termasuk santri, memiliki sejumlah pola dalam menghadapi digitalisasi. Ada yang aktif mengembangkan personal branding di media sosial, ada yang menggantungkan diri pada teknologi digital, ada pula yang memilih gaya hidup santai dalam menghadapi perubahan.
Penetrasi digital di kalangan anak muda sangat kuat. Bukan hanya untuk komunikasi atau hiburan, tetapi juga sebagai medium pengetahuan agama. Ceramah singkat di Instagram, potongan dakwah di TikTok, kajian mendalam di YouTube kini bagian dari keseharian. Ini menandakan bahwa dakwah tidak lagi terbatas di mimbar masjid atau pesantren—ia kini hadir di layar ponsel.
Santri pun ikut aktif memproduksi konten: membuat video tafsir singkat, menulis opini, hingga menjual produk pesantren melalui marketplace. Dunia digital tak lagi dianggap sebagai tantangan semata, tetapi sebagai ruang kreatif dan wirausaha baru.
Beberapa kisah nyata menemani transformasi ini. Misalnya, santri asal Gresik yang menempuh studi di Nanyang Technological University, Singapura, dan kemudian berkiprah di dunia teknologi internasional lewat inisiatif berbasis digital. Nilai-nilai pesantren — kejujuran, amanah, pengabdian — ternyata bisa diterjemahkan dalam bentuk coding, data besar dan sistem digital.
Selain itu, santri dari Jombang juga muncul sebagai motivator nasional yang paham komunikasi publik, kepemimpinan, dan kerja keras — kualitas yang ditempa di pesantren.
Tantangan & Peluang ke Depan
Tentu saja, perjalanan ini tidak tanpa hambatan. Masih ada stigma bahwa santri hanyalah ahli agama. Banyak pesantren kecil yang belum memadai fasilitas teknologinya. Akses internet di daerah-daerah masih terbatas. Guru-guru yang menguasai literasi digital belum merata.
Selain itu, tantangan internal sangat nyata: bagaimana menjaga kedalaman spiritual di tengah derasnya arus digital? Bagaimana memastikan santri yang aktif di ruang maya tetap menguasai ilmu agama dengan baik?
Meski demikian, peluang terbentang luas. Bonus demografi, kemajuan teknologi, dan kebutuhan terhadap pemimpin yang berintegritas membuka ruang besar bagi santri. Mereka dapat menjadi ilmuwan beretika, wirausahawan sosial yang berkelanjutan, pejabat publik yang bersih, atau influencer dakwah yang segar.
Dengan demikian, perjalanan para santri — dari perjuangan fisik dalam Resolusi Jihad hingga kiprah di era digital — adalah kisah metamorfosis. Mereka yang dulu diidentikkan dengan pesantren tradisional kini muncul sebagai inovator, kreator konten, pengusaha digital, akademisi, bahkan teknolog. Nilai-nilai moral pesantren tidak ketinggalan zaman; justru makin relevan di tengah globalisasi yang melaju cepat.
Negara dan masyarakat mempunyai tugas: membuka ruang, memperkuat pendidikan pesantren, menyediakan akses teknologi, dan membuka peluang profesional bagi santri. Karena di balik kesederhanaan mereka, tersimpan potensi besar. Santri adalah simbol persenyawaan antara agama dan kemajuan, antara tradisi dan inovasi.
Referensi : nu.or.id
