Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Meninggalkan Maksiat Bukan karena Allah

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali merasa bangga ketika berhasil meninggalkan suatu maksiat. Tidak lagi berbohong, berhenti membuka hal-hal yang haram, atau mampu menahan diri dari perbuatan dosa tertentu. Namun, pertanyaannya: apakah kita meninggalkan maksiat itu karena Allah, atau karena alasan lain?

Kadang tanpa disadari, seseorang bisa tampak “baik” di mata manusia, tetapi motivasinya bukan karena takut atau taat kepada Allah. Ia mungkin menahan diri dari dosa, namun bukan karena iman, melainkan karena gengsi, takut kehilangan citra, atau karena faktor duniawi lainnya.

Bukan Semua yang Tampak Baik Bernilai Ibadah

Tingkah laku yang tampak baik belum tentu bernilai ibadah di sisi Allah jika niatnya tidak benar. Seorang lelaki yang berhenti berzina karena takut tertular penyakit, bukan karena takut kepada Allah, maka perbuatannya memang menyelamatkan dirinya dari bahaya dunia, tapi belum tentu mendatangkan pahala akhirat.

Demikian pula seseorang yang berhenti berbohong agar terlihat dipercaya oleh orang lain — ia menjaga lisannya, tapi bukan karena ingin diridhai Allah, melainkan agar citranya tetap terjaga. Maka, hakikatnya ia belum meninggalkan maksiat dalam pandangan Allah, karena hatinya masih terikat pada dunia dan penilaian manusia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi tolok ukur bahwa nilai amal — termasuk dalam meninggalkan maksiat — sangat ditentukan oleh niat. Amal yang sama, bisa menjadi pahala besar atau tidak bernilai sama sekali, tergantung pada untuk siapa ia dilakukan.

Motivasi yang Salah: Saat Dunia Jadi Ukuran

Banyak orang meninggalkan maksiat karena takut pada dampak duniawi, bukan karena takut kepada Allah. Misalnya:

-Takut ketahuan manusia dan malu, bukan takut dosa.

-Takut kehilangan pekerjaan atau pasangan, bukan takut neraka.

-Takut rusak reputasi, bukan takut murka Allah.

Padahal, jika alasan-alasan itu hilang, mungkin maksiat itu akan kembali dilakukan. Karena ia tidak berdiri di atas pondasi iman, tapi hanya di atas kepentingan sementara.

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan bahwa meninggalkan maksiat karena dunia itu bukan termasuk taubat sejati. Ia hanya menunda kejatuhan, bukan menyembuhkan penyakit hati. Orang seperti ini hanya berpindah dari satu ketakutan ke ketakutan lain — dari takut kehilangan dunia, bukan takut kehilangan ridha Allah.

Meninggalkan Maksiat karena Allah: Tanda Iman yang Hidup

Sebaliknya, orang yang meninggalkan maksiat karena Allah akan tetap menjauhi dosa walaupun tidak ada manusia yang melihatnya. Ia tahu bahwa Allah selalu mengawasi, dan itulah yang membuatnya kuat.

Ketika godaan datang, ia berkata dalam hatinya: “Aku bisa saja melakukannya, tapi aku malu kepada Allah.”

Inilah bentuk keikhlasan yang sejati — amal yang murni karena takut, cinta, dan harap kepada Allah semata.

Imam Ahmad pernah berkata, “Meninggalkan maksiat adalah ibadah, dan ibadah tidak sah kecuali dengan niat.”

Artinya, sekadar tidak berbuat dosa bukanlah jaminan pahala, kecuali kalau seseorang memang sengaja meninggalkannya karena taat kepada Allah.

Tanda-Tanda Seseorang Meninggalkan Maksiat karena Allah

Ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa seseorang benar-benar meninggalkan maksiat karena Allah, bukan karena faktor lain:

-Ia tetap meninggalkan maksiat walaupun tidak ada yang tahu.

-Ia sadar bahwa Allah Maha Melihat, meski manusia tidak.

-Ia merasa bersalah jika hatinya kembali condong kepada dosa.

 Hatinya sensitif terhadap maksiat, dan ia segera beristighfar jika terlintas niat buruk.

-Ia tidak sombong atas perubahan dirinya.

-Ia tidak membanggakan diri di hadapan orang lain, karena tahu bahwa kekuatan meninggalkan dosa itu datang dari Allah.

-Ia tidak mencela orang lain yang belum mampu.

Sebab ia sadar, dulu pun dirinya pernah lemah — dan hanya dengan rahmat Allah ia bisa berubah.

Bahaya Meninggalkan Maksiat Tanpa Niat yang Benar

Meninggalkan maksiat tanpa niat yang benar dapat menimbulkan penyakit hati baru, seperti:

-Riya’ (pamer): Ingin dipuji karena tampak saleh.

-Ujub (bangga diri): Merasa sudah lebih baik dari orang lain.

-Tertipu oleh amal: Mengira sudah bersih, padahal hati masih kotor.

Inilah mengapa para ulama selalu menekankan pentingnya muraqabah — merasa diawasi oleh Allah dalam setiap langkah. Dengan rasa ini, seseorang tidak hanya berhenti dari maksiat, tapi juga memperbaiki hatinya agar setiap amalnya bernilai ibadah.

Menata Niat, Menjaga Keikhlasan

Jika kita menyadari bahwa selama ini meninggalkan maksiat bukan karena Allah, maka bukan berarti semuanya sia-sia. Itu bisa menjadi titik awal untuk memperbaiki niat. Katakan dalam hati:

“Ya Allah, aku ingin meninggalkan semua yang Engkau benci bukan karena takut pada manusia, tapi karena ingin Engkau ridha padaku.”

Ucapkan doa ini dengan sungguh-sungguh. Niat bisa diperbarui kapan saja. Allah Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya, dan Dia akan menolong siapa pun yang tulus ingin memperbaiki dirinya.

Meninggalkan maksiat memang tidak mudah. Tapi yang lebih penting daripada sekadar meninggalkan, adalah mengapa kita meninggalkannya.

Jika karena Allah, maka setiap pengorbanan akan bernilai pahala. Tapi jika karena dunia, maka semua akan berakhir sia-sia ketika dunia pergi.

Mari kita jaga niat, bersihkan hati, dan jadikan setiap langkah perubahan kita sebagai bentuk penghambaan yang sejati. Karena hakikat ketaatan bukan hanya tentang apa yang kita lakukan, tetapi tentang untuk siapa kita melakukannya.