Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terjebak dalam Kebiasaan Membandingkan

Ada satu kebiasaan yang seringkali tidak kita sadari, tapi perlahan mencuri kebahagiaan dalam hidup kita — kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Kita melihat teman yang lebih sukses, tetangga yang lebih kaya, atau orang lain yang terlihat lebih bahagia di media sosial, lalu hati kita mulai gelisah. “Kenapa hidupku nggak seperti mereka?” “Kenapa aku belum sampai di titik itu?”

Padahal, perbandingan yang terus-menerus seperti itu hanya membuat kita lelah tanpa hasil.

1. Akar dari Kebiasaan Membandingkan

Manusia memang diciptakan dengan naluri untuk menilai dan mengukur. Namun, saat standar ukurannya bukan lagi diri sendiri, melainkan kehidupan orang lain, di situlah jebakan dimulai. Dunia digital memperparah hal ini — foto bahagia di Instagram, pencapaian di LinkedIn, atau postingan keberhasilan di TikTok membuat kita lupa bahwa yang kita lihat hanyalah potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan keseluruhannya.

Sementara itu, kita membandingkannya dengan versi paling lemah dari diri sendiri — saat gagal, sedih, atau tidak bersemangat. Wajar jika akhirnya kita merasa kalah.

2. Dampak Buruk yang Tak Terlihat

Kebiasaan membandingkan membuat hati sulit bersyukur. Kita tidak lagi melihat nikmat yang Allah titipkan, tapi hanya melihat apa yang belum kita punya. Lambat laun, muncul rasa iri, minder, bahkan kecewa pada takdir.

Padahal, setiap orang punya jalan hidup yang berbeda. Waktu keberhasilanmu belum tentu sama dengan orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain...”

(QS. An-Nisa: 32)

Ayat ini bukan sekadar larangan iri, tapi juga peringatan lembut agar kita fokus pada takdir masing-masing. Sebab Allah Maha Adil — setiap orang mendapat bagian rezeki, ujian, dan nikmatnya sendiri-sendiri.

3. Membandingkan yang Sehat vs yang Merusak

Tidak semua perbandingan itu buruk. Ada yang justru menumbuhkan semangat. Misalnya, saat kita melihat orang lain lebih rajin ibadah dan kita terdorong untuk memperbaiki diri, itu perbandingan yang sehat.

Namun jika perbandingan justru membuat kita merasa rendah, tidak berharga, dan kehilangan arah, maka itu perbandingan yang merusak.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan janganlah melihat kepada orang yang berada di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.”

(HR. Muslim)

4. Cara Melepaskan Diri dari Jebakan Ini

Agar tidak terus terjebak dalam kebiasaan membandingkan, kita bisa mulai dengan beberapa langkah kecil berikut:

-Sadari bahwa hidup bukan perlombaan.

Tak ada garis finish yang sama. Masing-masing punya waktu dan takdirnya.

-Kurangi konsumsi media sosial yang memicu perbandingan.

Jika melihat pencapaian orang lain membuatmu sedih, istirahatlah sejenak dari dunia maya.

-Fokus pada pertumbuhan diri sendiri.

Bandingkanlah dirimu hari ini dengan dirimu kemarin. Apakah kamu lebih sabar? Lebih bersyukur? Lebih dekat dengan Allah?

-Latih syukur setiap hari.

Tulis tiga hal kecil yang kamu syukuri setiap malam. Ini melatih hati untuk fokus pada nikmat, bukan kekurangan.

-Doakan, bukan iri.

Saat melihat orang lain bahagia, ucapkan “Masya Allah, semoga Allah memberkahinya.” Itu akan membuat hatimu tenang.

5. Menemukan Damai di Jalur Sendiri

Ketika kita berhenti membandingkan, hidup terasa lebih ringan. Kita mulai menikmati proses, bukan hanya hasil. Kita bisa bersyukur atas langkah kecil, bukan hanya pencapaian besar.

Hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang lebih istiqamah di jalan yang benar. Karena ukuran keberhasilan di sisi manusia bisa berbeda dengan ukuran keberhasilan di sisi Allah.

Mungkin orang lain tampak lebih tinggi di dunia, tapi bisa jadi kamu lebih tinggi di akhirat — karena kesabaranmu, keikhlasanmu, dan rasa syukurmu yang tak terlihat oleh mata manusia.

Maka dari itu...Berhentilah membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain. Hidupmu bukan kurang, hanya berbeda. Fokuslah menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri. Sebab yang Allah nilai bukan siapa yang paling hebat di dunia, tetapi siapa yang paling tulus berjuang di jalan-Nya.