Tangisan Imam Malik ketika Berbuka Puasa
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama tidak hanya dikenang karena keluasan ilmu dan kedalaman pemahaman mereka terhadap agama, tetapi juga karena ketakutan mereka kepada Allah dan kelembutan hati yang mengiringi kehidupan spiritual mereka. Di antara para ulama besar itu, Imam Malik bin Anas—pendiri mazhab Maliki—menjadi sosok yang istimewa. Keilmuannya masyhur, kehormatannya tinggi, tetapi tangisan beliau saat berbuka puasa menjadi pelajaran mendalam bagi umat hingga hari ini.
Kepribadian Imam Malik: Wibawa yang Dibangun oleh Rasa Takut kepada Allah
Imam Malik dikenal sebagai ulama yang penuh wibawa. Bahkan ketika beliau mengajar Al-Muwaththa’, murid-muridnya duduk dengan penuh khidmat karena suasana majelis terasa begitu sakral. Wibawa itu hadir bukan karena kekuasaan, melainkan karena kedalaman iman dan ketekunan amal.
Namun di balik ketegasan dan kewibawaannya, Imam Malik memiliki hati yang lembut, mudah tersentuh oleh ayat-ayat Allah, oleh peringatan kematian, dan oleh rasa takut jika amalnya tidak diterima.
Peristiwa yang Menggetarkan: Tangisan Saat Berbuka Puasa
Diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah menangis tersedu ketika waktu berbuka puasa tiba. Murid-muridnya bertanya, “Wahai Imam, apa yang membuatmu menangis? Bukankah berbuka itu membawa kegembiraan bagi orang yang berpuasa?”
Imam Malik menjawab dengan penuh kerendahan hati:
“Aku menangis karena aku tidak tahu, apakah puasaku hari ini termasuk amal yang diterima oleh Allah atau tidak. Sungguh, yang paling membuatku takut adalah beramal, namun Allah tidak ridha dan menolaknya.”
Inilah puncak ketawadhuan seorang alim besar. Beliau tidak bangga dengan amalnya—padahal kualitas ibadahnya jauh di atas rata-rata umat. Sebaliknya, beliau justru takut jika amal yang ia lakukan tidak bernilai di sisi Allah.
Mengapa Beliau Menangis? Rasa Takut yang Menjaga Kualitas Ibadah
Tangisan Imam Malik membawa pelajaran penting: bahwa orang-orang besar tidak merasa aman dari penolakan amal.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Ma'idah: 27)
Ketakwaan melahirkan rasa takut dan harap. Mereka yang bertakwa selalu merasa khawatir jika amalnya tidak diterima, namun tetap berharap pada rahmat Allah. Inilah keseimbangan spiritual yang selalu dijaga oleh Imam Malik.
Para ulama dulu mengajarkan bahwa tanda amal diterima bukan semata-mata kelancaran dalam beribadah, tetapi perubahan diri setelahnya. Jika ibadah membuat seseorang lebih tawadhu, lebih hati-hati, lebih dekat kepada Allah—itulah tanda kebaikan.
Pelajaran untuk Kita Hari Ini
Jangan pernah merasa aman dari penolakan amal.
Kita boleh beribadah sebanyak apa pun, tetapi justru ketidakpastian di hadapan Allah-lah yang membuat kita terus memperbaiki diri.
Keikhlasan lebih penting daripada banyaknya amal.
Imam Malik berpuasa, tetapi yang beliau khawatirkan adalah apakah Allah ridha—bukan berapa lama ia menahan lapar dan dahaga.
-Setiap detik ibadah harus diawali dan diakhiri dengan doa.
-Kita meminta taufik sebelum ibadah, dan memohon penerimaan setelah melakukannya.
Nabi mengajarkan doa:
“Allahumma taqabbal minni…”
(Ya Allah, terimalah amalanku…)
Rasa takut bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menjaga kualitas ibadah.
Ketakutan para ulama membuat hati mereka lembut, bukan putus asa. Mereka takut, tetapi tetap penuh harap.
Menangis Bukan Karena Lapar, Melainkan Karena Cinta
Yang menarik dari kisah Imam Malik adalah: beliau tidak menangis karena beratnya puasa, bukan pula karena menahan lapar sepanjang hari. Beliau menangis karena cinta—karena takut kehilangan perhatian dan penerimaan dari Allah. Inilah tangisan orang-orang yang dekat dengan-Nya.
Kita yang hidup ratusan tahun setelahnya mungkin tidak memiliki ilmu setinggi Imam Malik, tetapi kita bisa meniru kerendahan hatinya. Saat berbuka puasa, selain bersyukur atas nikmat makanan, ucapkan juga doa agar Allah menerima ibadah kita, sekecil apa pun.
Tangisan Imam Malik ketika berbuka puasa adalah cermin keikhlasan dan ketawadhuan seorang ulama besar. Kisah ini mengajarkan bahwa kualitas ibadah bukan ditentukan oleh jumlahnya, tetapi oleh ketulusan hati yang menyertainya.
Semoga Allah menjadikan hati kita selembut hati para ulama, menerima ibadah kita, dan meneguhkan kita di atas keikhlasan hingga akhir hayat. Aamiin.
