"Takut" Terhadap Kemudahan Dunia
Kehidupan modern yang serba cepat dan serba mudah, banyak dari kita terbuai oleh kenyamanan dunia. Teknologi yang memudahkan, hiburan yang melimpah, makanan yang tersedia kapan saja, dan segala kemudahan hidup lainnya, seringkali dianggap sebagai bentuk rezeki dan keberhasilan. Namun, dalam pandangan Islam, tidak semua kemudahan dunia adalah bentuk keberkahan. Justru, ada kalanya seorang Muslim harus takut terhadap kemudahan dunia, karena bisa jadi di balik kemudahan itu tersembunyi ujian yang berat dan kelalaian terhadap akhirat.
Kemudahan Dunia: Antara Nikmat dan Istidraj
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa."
(QS. Al-An’am: 44)
Ayat ini menggambarkan sebuah kondisi yang disebut dengan istidraj, yaitu ketika Allah memberikan kemudahan dan kenikmatan dunia secara terus-menerus kepada orang yang lupa dan lalai, bukan sebagai bentuk kasih sayang, melainkan sebagai bentuk istidraj (penundaan siksa). Allah membiarkan mereka larut dalam dunia hingga akhirnya mereka dijatuhkan dalam kehinaan yang nyata, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, seorang mukmin yang cerdas akan senantiasa mawas diri. Ia tidak serta-merta merasa bangga dengan kesuksesan duniawinya. Ia akan bertanya dalam hati: "Apakah kemudahan ini karena ridha Allah, atau karena aku sedang dijauhkan dari-Nya?"
Ketika Dunia Menipu
Dunia ini bersifat menipu. Ia tampak indah, memikat, dan memuaskan, namun sesungguhnya ia fana dan penuh tipuan. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (menarik), dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian beramal."
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa dunia hanyalah tempat ujian. Keindahannya bisa melenakan, dan kelimpahannya bisa membuat hati keras serta jauh dari dzikir. Saat seseorang terlalu nyaman dengan dunia, ia bisa saja terjebak dalam zona aman yang palsu, dan lupa bahwa hakikat hidup adalah untuk beribadah kepada Allah, bukan sekadar menikmati hidup.
Ketakutan Para Salaf terhadap Dunia
Para ulama salaf sangat waspada terhadap kenikmatan dunia. Mereka lebih khawatir terhadap kelapangan daripada kesempitan. Salah satu contohnya adalah ucapan Umar bin Khattab RA ketika melihat kaum Muslimin mendapatkan banyak kemenangan dan harta rampasan perang. Ia berkata:
"Dulu kita diuji dengan kesulitan, dan kita bisa bersabar. Kini kita diuji dengan kemudahan, apakah kita bisa bersyukur?"
Inilah bentuk ketakutan terhadap kemudahan dunia yang patut kita teladani. Mereka menyadari bahwa ujian dalam bentuk kemudahan dan kelapangan justru lebih berbahaya, karena seringkali tidak disadari. Ujian kesulitan membuat seseorang kembali kepada Allah, tapi kemudahan bisa membuat seseorang merasa tidak butuh kepada-Nya.
Tanda-Tanda Bahaya dari Kemudahan Dunia
Ada beberapa tanda yang perlu diwaspadai bahwa kemudahan dunia yang kita terima bisa jadi berbahaya:
Semakin jauh dari ibadah: Jika semakin sukses dan lapang hidup justru menjauhkan kita dari sholat, dzikir, dan membaca Al-Qur’an, maka itu pertanda bahaya.
Merasa cukup dan sombong: Hati yang merasa tidak butuh kepada Allah karena semua kebutuhan dunia telah terpenuhi adalah hati yang keras.
Mengabaikan kewajiban sosial dan agama: Tidak peduli terhadap sesama, enggan membantu fakir miskin, dan cuek terhadap urusan umat.
Terlalu mencintai dunia dan takut kehilangan: Obsesi terhadap kekayaan, jabatan, dan ketenaran membuat hati takut kehilangan dunia dan melupakan kematian.
Sikap Seorang Mukmin terhadap Dunia
Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya, sukses, dan hidup nyaman. Namun, semua itu harus dijadikan alat, bukan tujuan. Dunia hanyalah jembatan menuju akhirat. Oleh karena itu, sikap seorang mukmin adalah sebagai berikut:
Bersyukur dan tetap waspada: Nikmat dunia harus disyukuri, tapi jangan sampai membuat lalai.
Menjadikan dunia sebagai sarana kebaikan: Harta, waktu luang, dan kekuasaan digunakan untuk dakwah, membantu sesama, dan memperbanyak amal sholeh.
Tetap zuhud dalam hati: Zuhud bukan berarti miskin, tetapi hati yang tidak terikat pada dunia. Orang zuhud bisa kaya, tapi hatinya tetap kepada Allah.
Berdoa agar tidak ditipu oleh dunia: Rasulullah SAW sering berdoa agar tidak dijadikan termasuk orang yang tertipu oleh dunia.
Renungan Akhir
Kemudahan dunia bisa menjadi nikmat, tapi juga bisa menjadi musibah yang terselubung. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, kita harus selalu mengevaluasi diri: apakah kenikmatan yang kita rasakan membuat kita semakin dekat kepada Allah, atau justru semakin lalai?
Allah SWT telah mengingatkan:
"Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan hiburan, perhiasan dan saling berbangga di antara kalian, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak-anak..."
(QS. Al-Hadid: 20)
Maka, jangan sampai kita tertipu. Takutlah terhadap kemudahan dunia jika itu membuat kita lupa tujuan akhir. Sebab, keberuntungan yang hakiki bukanlah hidup nyaman di dunia, tetapi selamat dan bahagia di akhirat.