Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ini Bedanya Galau Kita dan Galaunya Sahabat Nabi

Setiap manusia pasti pernah merasa galau. Hati terasa gundah, pikiran penuh beban, langkah terasa berat. Namun, pernahkah kita berpikir—bagaimana para sahabat Nabi menghadapi galaunya mereka? Apakah sama seperti kita yang sering mengeluh di media sosial, menangis dalam diam, atau memilih menjauh dari ibadah saat hati sedang kusut? Mari kita renungkan bersama perbedaan antara galau kita dan galaunya para sahabat Rasulullah ﷺ.

1. Galau Kita: Karena Dunia Tak Sesuai Harapan

Kebanyakan dari kita merasa galau karena hal-hal duniawi.

Ada yang galau karena cinta tak terbalas, rezeki belum lancar, pekerjaan tak sesuai impian, atau karena merasa hidup orang lain lebih bahagia. Kita sering menimbang kebahagiaan dengan ukuran dunia—uang, pasangan, jabatan, atau pengakuan.

Padahal, galau semacam ini sering lahir dari ego dan kurangnya ridha terhadap takdir Allah. Kita ingin semua berjalan sesuai rencana kita, bukan rencana Allah. Maka ketika kenyataan tak sesuai harapan, hati pun gelisah.

2. Galaunya Sahabat Nabi: Karena Takut Kehilangan Ridha Allah

Berbeda dengan kita, galaunya para sahabat Nabi justru karena urusan akhirat.

Mereka bukan takut kehilangan dunia, tapi takut kehilangan cinta Allah dan Rasul-Nya.

- Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menangis karena khawatir amalnya tak diterima.

- Umar bin Khattab galau bukan karena dicela orang, tapi karena takut dirinya termasuk orang munafik.

- Bilal bin Rabah bukan sedih karena disiksa, tapi karena takut tak kuat mempertahankan keimanannya.

Mereka menangis bukan karena gagal mendapatkan manusia, tapi karena takut gagal di hadapan Tuhannya.

3. Galau Kita Menjauhkan Diri, Galaunya Sahabat Justru Mendekat

Saat kita galau, banyak di antara kita malah menjauh dari Allah.

Shalat jadi berat, doa terasa hambar, dan hati enggan mendekat. Kita mencari pelarian pada hal-hal dunia—hiburan, teman curhat, bahkan hal yang dilarang.

Sedangkan sahabat Nabi, ketika galau, mereka justru semakin mendekat kepada Allah.

Mereka menangis dalam sujud, berdoa di malam sunyi, dan beristighfar lebih banyak.

Galaunya menjadi bahan bakar untuk memperbaiki diri, bukan alasan untuk menyerah.

4. Galau Kita Bersumber dari Kurang Iman, Galaunya Sahabat dari Kelembutan Iman

Ketika iman sedang lemah, hati mudah goyah. Kita jadi baper karena perkataan orang, kecewa karena gagal, atau iri karena melihat orang lain lebih beruntung. Itu tanda iman sedang butuh disirami.

Sementara sahabat Nabi justru galau karena iman mereka sangat hidup.

Hati mereka halus, sensitif terhadap dosa sekecil apa pun.

Ketika terlewat shalat berjamaah, mereka merasa sangat kehilangan.

Ketika terselip niat riya, mereka langsung menyesal.

Inilah galau yang lahir dari ketajaman hati yang dekat dengan Allah.

5. Galau Kita Berujung Putus Asa, Galaunya Sahabat Melahirkan Harapan

Galau kita sering berakhir dengan keputusasaan: “Aku sudah capek,” “Aku nggak kuat lagi,” atau “Aku nggak pantas.”

Tapi galaunya para sahabat tak pernah membuat mereka putus asa.

Mereka menangis, tapi tetap bangkit.

Mereka takut, tapi tak berhenti berjuang.

Karena di balik kesedihan mereka, selalu ada cahaya keyakinan bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya.

Jadikan Galaumu Jalan Pulang

Galau bukan hal yang salah—karena ia tanda bahwa hati masih hidup.

Namun, arahkan galaumu kepada Allah.

Bila hatimu gundah karena dunia, ubahlah itu menjadi kerinduan untuk akhirat.

Jadikan air mata bukan hanya karena cinta manusia, tapi karena rindu bertemu dengan Sang Pencipta.

Belajarlah dari para sahabat Rasul ﷺ.

Mereka juga pernah galau, tapi galaunya selalu membuat mereka semakin dekat dengan Allah, bukan semakin jauh.

Dan di situlah letak kemuliaan mereka—mereka menjadikan kesedihan sebagai jalan menuju cahaya.

“Sesungguhnya, orang-orang beriman itu hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

(QS. Ar-Ra’d: 28)