Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan: Hati-Hati Menganggap Biasa Suatu Nikmat

Sering kali manusia baru menyadari nilai sebuah nikmat setelah nikmat itu dicabut. Saat kesehatan terganggu, barulah kita merindukan tubuh yang kuat. Ketika waktu luang hilang, kita menyesali masa senggang yang dahulu terbuang. Inilah tabiat manusia: mudah lalai, cepat terbiasa, dan sering menganggap remeh karunia Allah yang setiap hari menyelimuti hidupnya.

Padahal, nikmat yang terasa “biasa” sejatinya adalah anugerah luar biasa. Udara yang kita hirup tanpa biaya, mata yang mampu melihat dengan jelas, hati yang masih diberi keimanan, serta kesempatan beribadah tanpa hambatan—semuanya adalah karunia yang tak ternilai. Namun karena hadir terus-menerus, nikmat itu sering luput dari rasa syukur.

Nikmat yang Terbiasa, Syukur yang Terlupa

Allah ﷻ mengingatkan dalam Al-Qur’an:

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.”

(QS. Ibrahim: 34)

Ayat ini menegaskan betapa banyaknya nikmat yang kita terima, bahkan melebihi kemampuan kita untuk menghitungnya. Namun ironisnya, justru nikmat yang paling sering kita terima adalah yang paling jarang kita syukuri. Kita bangun pagi, masih bernapas, masih bisa bergerak, tetapi jarang sekali lisan ini mengucap syukur dengan penuh kesadaran.

Menganggap biasa suatu nikmat adalah awal dari kelalaian. Kelalaian melahirkan ketidakpedulian. Dan ketidakpedulian bisa berujung pada kufur nikmat, bukan selalu dalam bentuk penolakan, tetapi dalam sikap abai dan tidak menggunakan nikmat sesuai ridha Allah.

Nikmat Bisa Dicabut Tanpa Peringatan

Tidak ada jaminan bahwa nikmat yang kita rasakan hari ini akan tetap bersama kita esok hari. Kesehatan bisa berubah menjadi sakit, kekuatan menjadi kelemahan, dan kelapangan menjadi kesempitan. Semua itu dapat terjadi dalam sekejap, tanpa pengumuman, tanpa aba-aba.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang.”

(HR. Bukhari)

Hadis ini menegur kita dengan lembut namun tegas. Kesehatan dan waktu luang sering dianggap hal biasa, padahal keduanya adalah modal besar untuk beramal. Ketika nikmat ini disia-siakan, manusia baru tersadar saat keduanya hilang, namun penyesalan sering kali datang terlambat.

Menggunakan Nikmat untuk Mendekat kepada Allah

Syukur bukan hanya di lisan, tetapi juga dalam perbuatan. Mata disyukuri dengan melihat yang halal, telinga dengan mendengar kebaikan, waktu dengan amal saleh, dan harta dengan infak serta sedekah. Setiap nikmat memiliki konsekuensi tanggung jawab.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Nikmat akan terus ada selama disyukuri, dan akan pergi jika diingkari.” Kalimat ini mengajarkan bahwa menjaga nikmat bukan dengan rasa memiliki, tetapi dengan rasa tunduk dan taat kepada Sang Pemberi.

Melatih Hati agar Peka terhadap Nikmat

Agar tidak terjebak menganggap biasa nikmat Allah, kita perlu melatih hati untuk selalu peka. Salah satunya dengan membiasakan muhasabah harian: merenungi nikmat apa saja yang telah kita terima hari ini. Dengan cara ini, hati akan lebih lembut dan mudah bersyukur.

Selain itu, melihat ke bawah dalam urusan dunia juga membantu kita menyadari betapa banyak karunia yang telah Allah berikan. Ketika kita melihat orang lain yang diuji dengan kekurangan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki saat ini.

Hati-hati menganggap biasa suatu nikmat. Apa yang hari ini terasa sepele, bisa jadi esok hari menjadi sesuatu yang sangat dirindukan. Jangan tunggu nikmat dicabut untuk belajar bersyukur. Selama nikmat masih ada, gunakanlah ia untuk taat, mendekat, dan memperbanyak amal. Karena nikmat yang disyukuri akan mendatangkan tambahan, sedangkan nikmat yang diabaikan berpotensi menjadi alasan penyesalan di kemudian hari.

Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba-hamba yang pandai mengenali nikmat, tulus bersyukur, dan bijak dalam menggunakannya. Aamiin.