Belajar Kitab Kuning di Pesantren: Menjaga Tradisi, Menggapai Keilmuan
Kitab kuning merupakan salah satu ciri khas pendidikan pesantren yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu di Nusantara. Disebut "kuning" karena dahulu kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas berwarna kuning, meskipun kini sudah banyak diterbitkan di atas kertas putih. Kitab kuning adalah kitab-kitab berbahasa Arab gundul (tanpa harakat) yang berisi kajian ilmu-ilmu Islam klasik, seperti fikih, tauhid, tasawuf, nahwu, dan lainnya. Belajar kitab kuning di pesantren bukan sekadar membaca teks, melainkan juga upaya merawat warisan keilmuan Islam dan mendalami ajaran agama secara mendalam.
Sejarah Kitab Kuning
Kitab kuning merupakan produk ulama-ulama Islam dari berbagai era, mulai dari abad ke-2 Hijriah hingga masa kini. Kitab-kitab ini menjadi rujukan utama dalam pengajaran Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Ketika Islam menyebar ke tanah air, para ulama lokal tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga mulai memperkenalkan kitab-kitab karya ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, dan banyak lainnya.
Tradisi ini semakin kuat sejak berdirinya pesantren-pesantren di Jawa dan Sumatera pada abad ke-18 dan ke-19. Santri yang belajar di pesantren tradisional akan akrab dengan nama-nama kitab seperti Fathul Qarib, Taqrib, Al-Jurumiyah, Bidayatul Hidayah, dan Ihya Ulumuddin. Semua kitab tersebut diajarkan dengan metode khas pesantren yang menjunjung tinggi adab dan sanad keilmuan.
Metode Belajar Kitab Kuning
Belajar kitab kuning memerlukan kemampuan khusus karena kitab-kitab ini tidak diberi harakat (tanda baca), dan sebagian besar ditulis dengan bahasa Arab klasik. Oleh karena itu, santri harus terlebih dahulu menguasai ilmu alat seperti nahwu (tata bahasa Arab) dan sharaf (morfologi) untuk memahami makna kata dan struktur kalimat.
Beberapa metode umum yang digunakan di pesantren untuk mempelajari kitab kuning antara lain:
Bandongan: Metode ini dilakukan dengan kiai membacakan kitab secara langsung kepada santri sambil menerjemahkan dan menjelaskan makna setiap kalimat. Santri menyimak sambil mencatat terjemahan atau makna di pinggir kitab, yang disebut dengan "makna gandul".
Sorogan: Metode ini lebih aktif, di mana santri membaca kitab di hadapan kiai dan menerjemahkan isi kitab tersebut. Kiai akan mengoreksi jika ada kesalahan dan memberikan penjelasan tambahan. Metode ini melatih kemandirian dan pemahaman santri.
Musyawarah: Setelah belajar dengan kiai, santri sering kali berdiskusi dalam kelompok kecil untuk mengkaji ulang isi kitab dan saling mengoreksi pemahaman satu sama lain.
Hafalan (muhafazah): Beberapa kitab, khususnya dalam bidang gramatika atau aqidah, dihafalkan oleh santri untuk memudahkan pemahaman dan penguasaan materi.
Nilai-Nilai yang Ditanamkan
Belajar kitab kuning bukan hanya soal keilmuan, tetapi juga soal pembentukan karakter. Pesantren menanamkan nilai-nilai seperti:
Adab kepada guru: Santri diajarkan menghormati kiai sebagai pemegang ilmu. Mereka tidak hanya belajar isi kitab, tetapi juga mengambil berkah dari adab dan sikap kiai terhadap ilmu.
Kedisiplinan dan kesederhanaan: Rutinitas pesantren yang padat dan sederhana membentuk mental santri agar terbiasa hidup tertib, hemat, dan mandiri.
Tawadhu dan keikhlasan: Santri dibiasakan menuntut ilmu tanpa pamrih, semata-mata karena Allah. Ilmu dipandang sebagai cahaya yang akan masuk ke hati yang bersih dan ikhlas.
Kitab-Kitab yang Dipelajari
Tingkatan kitab kuning biasanya dibagi berdasarkan kemampuan santri. Di tingkat pemula, santri mempelajari kitab nahwu seperti Al-Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyah Ibnu Malik. Dalam fikih, mereka belajar dari kitab Taqrib, Fathul Qarib, dan Safinatun Najah. Di tingkat menengah dan atas, santri mulai mengkaji kitab seperti Ihya Ulumuddin, Al-Majmu', dan Tafsir Jalalain.
Setiap kitab memiliki keunikan dan kedalaman masing-masing. Kitab-kitab ini tidak hanya mengajarkan teori, tapi juga praktik kehidupan sehari-hari sesuai syariat Islam. Oleh karena itu, lulusan pesantren umumnya memiliki pemahaman yang kokoh dan komprehensif terhadap ajaran agama.
Tantangan dan Harapan
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, belajar kitab kuning menghadapi sejumlah tantangan. Banyak generasi muda yang lebih tertarik pada ilmu-ilmu modern dan menganggap kitab kuning sebagai hal kuno dan sulit dipahami. Padahal, di dalam kitab-kitab ini tersimpan kekayaan intelektual Islam yang sangat dalam dan relevan untuk berbagai persoalan zaman.
Untuk menjawab tantangan ini, banyak pesantren kini mulai mengembangkan model pembelajaran yang lebih interaktif, bahkan mengintegrasikan teknologi. Beberapa kitab kuning sudah diterjemahkan dan dijadikan e-book atau modul digital. Ada juga pesantren yang membuka kelas online atau membuat video penjelasan kitab kuning di YouTube.
Namun demikian, esensi dari belajar kitab kuning tetaplah pada adab, sanad keilmuan, dan keberkahan. Oleh karena itu, meskipun mengalami adaptasi bentuk, ruh dari pendidikan kitab kuning tetap harus dijaga.
Maka, Belajar kitab kuning di pesantren adalah warisan besar yang tidak hanya melahirkan ulama, tetapi juga pemimpin umat yang bijaksana dan berakhlak. Santri yang tekun mempelajari kitab kuning bukan hanya sedang menggali ilmu, tetapi juga tengah meniti jalan para ulama salaf yang agung. Dalam keheningan malam, di bawah temaram lampu minyak atau cahaya sederhana, para santri membuka lembar demi lembar kitab, meniti kata, dan menyelami makna. Dari pesantren-pesantren inilah cahaya ilmu terus bersinar, menerangi jalan umat menuju kebaikan dan kemuliaan.